Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Indo-Pasifik dapat memicu konflik, bahkan peperangan. Amerika Serikat dan Tiongkok terus melakukan manuver melalui strategi masing-masing di Indo-Pasifik. Amerika Serikat, melalui kebijakan Free and Open Indo-Pacific (FOIP), berusaha menghadang pengaruh Tiongkok di regional tersebut.
Amerika Serikat bahkan membangun aliansi pertahanan seperti QUAD dan AUKUS, yang mana banyak pengamat politik internasional melihat hal tersebut dilakukan untuk meredam kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.
Di sisi lain, Tiongkok terus bergerak menaruh pengaruhnya melalui proyek ambisius Belt and Road Initiative (BRI). Tiongkok juga dikabarkan terus memperkuat kekuatan militernya dan bahkan memiliki target hingga tahun 2049 untuk menjadi kekuatan militer kelas dunia. Kompetisi antara kedua negara besar ini sangat mengkhawatirkan bagi pengelolaan perdamaian dunia.
Perangkap Thucydides
Graham Allison, Profesor di Harvard Kennedy School, pada tahun 2017 menulis “The Thucydides Trap”. Allison menjelaskan bahwa kompetisi antara AS dan Tiongkok bisa menyebabkan peperangan yang tak terhindarkan. Allison menganalisis bahwa munculnya Tiongkok sebagai kekuatan besar baru mengancam posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni lama.
Kondisi ini sama seperti yang digambarkan oleh Thucydides, sejarawan dan jenderal Athena, yang menulis buku History of the Peloponnesian War. Dalam tulisan tersebut, Thucydides menjelaskan tentang pertarungan antara dua kekuatan besar, yakni Athena dan Sparta. Salah satu faktor terjadinya peperangan antara keduanya adalah ketakutan Sparta sebagai kekuatan besar akan tergantikan posisinya oleh meningkatnya kekuatan Athena kala itu. Hal inilah yang membuat peperangan antara keduanya tak terelakkan.
Persaingan antara dua kekuatan besar di sebuah wilayah tidak hanya akan berdampak kepada kedua aktor tersebut. Aktor-aktor lain, khususnya yang berada di wilayah tersebut, pasti akan terseret dan terkena imbasnya. Dalam tulisan Thucydides, ada sebuah kisah yang berjudul Melian Dialogue. Kisah ini bercerita tentang warga Melian yang tinggal di sebuah pulau kecil bernama Melos. Secara geografis, Melos terletak di antara kekuatan besar Athena dan Sparta.
Ketika itu, pasukan Athena mendatangi Pulau Melos untuk memberikan pilihan kepada warga Melian. Athena mengajak pimpinan Melian untuk berpihak kepada Athena. Namun, pilihan warga Melian adalah tetap netral dan tidak berpihak kepada salah satu kekuatan besar, meskipun secara historis Melos lebih dekat dengan Sparta. Akibatnya, Athena menginvasi dan meluluhlantakkan Melos serta menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya.
Cerita Melian Dialogue bisa menjadi pelajaran berarti bagi aktor-aktor dunia internasional yang berada di Indo-Pasifik untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ada beberapa poin refleksi yang bisa menjadi pelajaran berharga. Pertama, kompetisi antara dua kekuatan besar sangat rentan menciptakan perang besar yang berakibat pada stabilitas keamanan dan perdamaian dunia. Kedua, memilih salah satu pihak mungkin saja menjadi opsi, namun tidak akan mencegah terjadinya perang, bahkan akan menyeret aktor tersebut untuk ikut terlibat dalam peperangan. Ketiga, langkah Melos untuk netral sebenarnya tidaklah salah, namun Melos hanyalah sebuah kekuatan kecil yang berdiri sendiri sehingga tidak memiliki daya tawar dan kekuatan untuk memainkan peranan berarti di tengah kompetisi dua kekuatan besar. Oleh karena itu, perlu ada kekuatan kolektif antara aktor-aktor di Indo-Pasifik yang bekerja sama dalam menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan.
Realisme atau Liberalisme?
Dalam hubungan internasional, ada dua paradigma utama yang dijadikan cara pandang untuk menjaga stabilitas keamanan dan menciptakan perdamaian dunia. Paradigma pertama adalah realisme. Dalam realisme, untuk dapat menjaga stabilitas keamanan, yang terpenting adalah terwujudnya keseimbangan kekuatan (balance of power). Dalam kondisi adanya kompetisi dua kekuatan besar, menjadi cukup sulit untuk mewujudkan keseimbangan kekuatan, karena keduanya sedang terus meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya di kawasan. Kondisi ini seolah hanya memberikan dua pilihan bagi aktor-aktor lainnya di kawasan. Pertama, mereka harus meningkatkan kekuatan agar dapat bertahan hidup. Kedua, mereka harus memilih salah satu kekuatan yang ada.
Paradigma kedua dalam hubungan internasional adalah liberalisme. Cara pandang ini sangat optimis bahwa perdamaian bisa tercipta melalui kerja sama yang dijalin oleh pelbagai aktor. Salah satu pemikir dalam paradigma ini adalah Immanuel Kant. Kant percaya perdamaian abadi bisa terwujud dengan menawarkan konsep pemikiran yang dinamakan “Kantian Triangle”. Ada tiga variabel utama untuk menciptakan perdamaian abadi, yaitu (1) organisasi internasional, (2) saling ketergantungan/interdependensi ekonomi, dan (3) demokrasi. Jika ketiga variabel ini hadir dan berfungsi maksimal, maka potensi konflik yang terjadi bisa diredam dan bisa mewujudkan perdamaian.
Penulis melihat semangat kerja sama dalam paradigma liberalisme dan “Kantian Triangle” bisa menjadi salah satu langkah utama yang dilakukan oleh aktor-aktor kawasan untuk mewujudkan perdamaian di kawasan. Namun, dalam konteks Indo-Pasifik, penulis melihat yang paling memungkinkan dari tiga variabel Kantian untuk diterapkan saat ini adalah meningkatkan peran konektivitas organisasi regional dan interdependensi ekonomi. Penulis menilai bahwa variabel demokrasi sulit untuk dipaksakan secara instan pada semua aktor yang memiliki perbedaan sistem politik, sejarah, dan budaya.
Peran Kerja Sama Antar Organisasi Regional di Indo-Pasifik
Di Indo-Pasifik, setidaknya ada tiga organisasi regional sebagai aktor yang penting untuk berperan meningkatkan semangat kerja sama antar aktor dan menciptakan interdependensi ekonomi agar potensi konflik bisa diredam. Ketiga aktor tersebut adalah ASEAN, Indian Ocean Rim Association (IORA), dan Pacific Islands Forum (PIF).
ASEAN, sebagai salah satu organisasi tertua di kawasan, sangat penting untuk memainkan peranan maksimal agar tidak ditarik ke pusaran kepentingan kompetisi dua negara besar. ASEAN, dalam pendiriannya, memiliki salah satu tujuan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan. Untuk mewujudkan hal tersebut, ASEAN perlu terus meningkatkan kerja sama, baik antarnegara anggotanya maupun dengan aktor eksternal lainnya. Kerja sama antarnegara anggota ini sangat penting untuk menjaga kohesivitas dalam ASEAN. Sementara itu, memperluas kerja sama dengan aktor lainnya juga tak kalah penting bagi ASEAN. Salah satu langkah strategis yang dilakukan ASEAN adalah melakukan kerja sama dengan organisasi kawasan lainnya di Indo-Pasifik, seperti IORA dan PIF.
IORA adalah pelopor dan satu-satunya organisasi regional di wilayah Samudra Hindia. IORA didirikan pada tahun 1997 dan saat ini beranggotakan 23 negara. IORA memiliki tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan seimbang bagi seluruh negara anggota. Menjalin kerja sama dengan IORA adalah salah satu hal yang penting bagi ASEAN untuk dapat menciptakan interdependensi ekonomi dengan anggota-anggotanya. Sementara itu, PIF adalah organisasi regional yang bertujuan untuk memastikan perdamaian, harmoni, keamanan, inklusi sosial, dan kesejahteraan bagi kawasan Pasifik. Organisasi ini memiliki 18 anggota dan didirikan pada tahun 1971.
Merujuk dari profil ketiga organisasi tersebut, ada potensi besar yang bisa dilakukan ketiganya untuk berperan maksimal dengan bekerja sama dan mewujudkan interdependensi ekonomi untuk menciptakan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. Ketiganya terdiri dari 47 negara dan sekitar 4 miliar penduduk, yang mencerminkan potensi besar untuk menjalankan kerja sama di kawasan.
Pada tahun 2023, ketiganya (ASEAN-IORA dan ASEAN-PIF) menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) untuk mempromosikan kerja sama di beberapa bidang utama, termasuk kerja sama maritim, konektivitas, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030, ekonomi biru, people-to-people exchanges, pengurangan risiko bencana dan bantuan kemanusiaan, serta ekonomi digital dan hijau. Hal ini menjadi langkah penting dalam menghadapi isu-isu regional bersama ke depannya.
Pada tanggal 19 September 2024, ASEAN mengadakan forum dialog ASEAN-IORA dan ASEAN-PIF dengan tema “Implementing Collective Commitment to Establish Cooperation” yang berlangsung di ASEAN Headquarters, Jakarta. Kegiatan ini bertujuan untuk menindaklanjuti MoU sebelumnya dan mendiskusikan bagaimana implementasinya. Kegiatan tersebut dihadiri oleh peserta yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk badan-badan sektor ASEAN, akademisi, serta perwakilan dari kementerian dan lembaga pemerintah. Entitas ASEAN, think tank, dan organisasi non-pemerintah juga turut hadir memberikan gagasan.
Pada kegiatan tersebut, penulis turut hadir sebagai perwakilan akademisi. Bagi penulis, kegiatan ini menjadi harapan awal untuk membangun kesepahaman dan kerja sama antar aktor di kawasan agar bisa menjaga stabilitas serta menciptakan perdamaian di tengah kompetisi AS dan Tiongkok. Namun, menurut penulis, perlu percepatan dalam implementasi MoU ini. Bagaimana tidak, kegiatan tindak lanjut implementasi ini baru bisa dilaksanakan satu tahun setelah MoU, sementara dinamika persaingan antara AS dan Tiongkok semakin terasa di Indo-Pasifik. Selain itu, intensitas pertemuan antar aktor perlu lebih ditingkatkan agar dapat membangun kesepahaman dalam menjaga stabilitas kawasan.
Penulis : Fajar Iqbal Mirza, BA.IR., M.Si
Biodata Penulis Artikel
Fajar Iqbal Mirza, BA.IR., M.Si adalah Dosen Hubungan Internasional LSPR dan Universitas Muhammadiyah AR Fachrudin. Iqbal menyelesaikan studinya di President University dan Universitas Indonesia dengan jurusan ilmu hubungan internasional. Dalam studinya Iqbal mendapatkan predikat cumlaude. Selanjutnya, Iqbal juga aktif menulis di beberapa media dan jurnal. Selain berkecimpung di dunia akademik dan profesional, Iqbal juga merupakan seorang aktivis Pemuda Muhammadiyah di Banten.